Sabtu, 30 Mei 2009

Keberadaan PT.Freeport Indonesia

Jayapura (ANTARA News) - Keberadaan PT.Freeport Indonesia yang beroperasi di sebagian besar daerah potensial logam di Pegunungan Tengah, Provinsi Papua hingga kini belum dapat ikut mendongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat Papua secara signifikan.

"Re-negoisasi kontrak karya Freeport yang telah berlangsung dua periode sejak 1967 harus dapat memberikan perubahan untuk masyarakat Papua tetapi ternyata hal itu belum terwujud," kata Ketua Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Aria Aditya Setiawan di Jayapura, Selasa.

Pendapatan dari Freeport lanjutnya, ditambah dana Otonomi khusus (Otsus) setidaknya bisa dikelola dengan baik guna menjawab tantangan pemerintah tentang keadilan yang selama ini ditanyakan atas Papua dan kondisi masyarakat lokal.

Pertanyaan kritis adalah, apakah Freeport sendiri belum memberikan perhatian secara penuh untuk ikut meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua ataukah masyarakat dan pemerintah setempat belum mampu mengelola dan memanfaatkan dana yang sudah diberikan Freeport kepada rakyat Papua selama ini.

Penduduk asli Papua yang hanya mengenal jenis modal terdepan dan ekonomi kas dalam waktu kurang dari satu generasi, menderita karena kurangnya pelatihan dan akses terhadap modal. Mayoritas penduduk Papua masih mengandalkan pertanian yang sederhana dan berburu yang hasilnya tidak bisa berkompetisi dengan ekonomi lokal dan nasional.

Sementara itu, PT.Freeport merupakan salah satu perusahaan asing yang beroperasi melalui Kontrak Karya (KK) di wilayah Papua dan merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) terbesar yang memberikan devisa bagi negara melalui penambangan emas dan tembaga di Timika.

Selama periode KK I tahun 1973-1991, perusahaan pertambangan yang berinduk pada Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. ini telah mendapat laba 1,1 milyar dolar AS. Sementara untuk kas Indonesia, Freeport hanya menyetor 138 juta dolar AS dalam bentuk deviden, royalti dan pajak atau sekitar 12,54 persen.

Dengan bekal KK II, selama 30 tahun ke depan, areal penambangan Freeport terus melebar hingga ke Deep Area, DOM dan Big Gossan yang sudah siap dieksploitasi. Sedangkan daerah Kucing Liar serta Intermediate Ore Zone (IOZ) masih dieksplorasi.

Lebih lanjut Aria menyatakan, walaupun Freeport telah melakukan investasi senilai 4,5 milyar dolar AS, hanya sebagian kecil dari investasi tersebut berpengaruh langsung pada ekonomi lokal.

Diantara penyebabnya adalah gaji dan berbagai kompensasi yang dibayarkan kepada masyarakat non-Papua tidak berpengaruh pada ekonomi lokal karena para pekerja mengirimkan sebagian besar gajinya ke negara asal atau ke luar Papua.

Selain itu, mayoritas dari perusahaan sub-kontraktor beroperasi di Jakarta dan mengimpor peralatannya dari luar Papua.

Sebagai contoh, tembaga dari Garsberg dikirim dan diproses di perusahaan pengolahan hasil kerja sama Mitsubishi dan Freeport di Gresik, Jawa Timur dengan nilai kontrak 700 juta dolar AS.

"Pemberian tersebut mungkin merupakan keputusan bisnis yang benar, tapi dari sudut pandang orang Papua, mereka kehilangan sebuah kesemmpatan," kata Aria.

Namun demikian, sejauh ini Freeport terus melakukan usaha untuk memberikan pelayanan sosial dan memperbaiki kualitas hidup penduduk yang tinggal di daerah operasi penambangan dengan melakukan skema reinvestasi dan beragam program pengembangan.

Hal tersebut ditujukan untuk pendidikan, kesehatan, usaha kecil dan pembangunan infrastruktur untuk tujuh suku Papua yang berdiam di daerah operasi, termasuk Suku Amungme dan Komoro.

Freeport tampaknya masih akan lama bercokol di Tanah Papua dengan adanya kontrak untuk kegiatan tambang Garsberg yang berlaku sampai 2021 dengan opsi memperpanjang perjanjian hingga 20 tahun kemudian.(*)

Selasa, 26 Mei 2009

Baku Tembak di Tanah Hitam Jayapura Papua

JAYAPURA (Deskpapua.pos) –Penyisiran tim Brimob Polda Papua diback-up oleh anggota Polsekta Abepura, sempat saling baku balas tembakan dengan sekelompok orang bersenjata yang diduga dari kelompok separatis OPM di gunung Tanah Hitam, sekitar pukul 10.00 WIT Senin (25/5) kemarin.

Sebelumnya, seorang warga RT 4 Tanah Hitam, Bahar, melaporkan ke Polsekta Abepura, bahwa ada sekelompok orang yang membawa senjata panah, tombak dan parang mengejar dia dan istrinya saat berada di kebunnya di Gunung Tanah Hitam Abepura, Senin (25/5) pagi.

Berdasarkan laporan tersebut, dipimpin Kapolsekta Abepura AKP Drs Dominggus Rumaropen S.Sos berkekuatan 9 orang anggotanya, 6 anggota Intel Polresta, 7 orang anggota Brimob Polda Papua dibantu 8 orang warga setempat sebagai penunjuk jalan melakukan penyisiran untuk mengkroscek laporan warga masyarakat tersebut.

Setiba dilokasi kejadian (gunung tanah hitam, red), Bahar, menunjukkan tempat dimana kelompok bersenjata itu, ternyata mereka sudah tidak berada di TKP. Namun salah seorang anggota Brimob minta kamera wartawan yang ikut penyisiran untuk dipakai sebagai teropong.

Dari teropong, ternyata terlihat disebelah bukit ada 4 orang memengang panah berlari menuju puncak gunung. Seketika itu juga anggota Brimob melepaskan tembakan, kelompok orang yang tak dikenal itupun lari bersembunyi. Namun kelompok orang bersenjata tersebut sempat membalas dengan tembakan pula sebanyak 5 kali.

Menurut Kapolsekta Abepura, penyisiran tersebut dilakukan atas laporan warga setempat yang melakukan aktivitas perkebunan di gunung akhir-akhir ini sering diganggu sekelompok orang bersenjata panah dan parang dengan lemparan batu, bahkan mengejar warga dengan panah.

Seorang wartawan media elektronik mencoba merekam dari jarak jauh sekelompok orang bersenjata terlihat berdiri di puncak gunung sambil memegang sepucuk senjata laras panjang diduga jenis SS1. Mengetahui ada yang memegang senjata, anggota

yang berdiri berdekatan dengan wartawan sontak melepaskan tembakan.

Tembakan itu serta diikuti serentetan tembakan oleh anggota lainnya. Saat Brimob melepaskan tembakan terdengarlah tembakan balasan dari orang-orang itu sebanyak 5 kali. Setelah membalas tembakan, sekelompok orang tersebut langsung melarikan diri menghilang ke hutan. (cr-45)
Sumber :papuapos

Senin, 25 Mei 2009

spacer.png, 0 kB

JAYAPURA (PAPOS) –Tiga butir peluru menerjang rumah kediaman Bupati Puncak Jaya (Puja), Sabtu (23/5) malam sekitar 20.30 WIT. Meski Bupati Puja Lukas Enembe berserta keluarga selamat dari insiden penembakan itu. Namun satu anggota regu jaga rumah dinas bupati menderita luka di bagian kanan sebelah kanan, akibat terkena serpihan peluru. Usai melepaskan tembakan, pelaku yang belum diketahui persis identitasnya itu melarikan diri ke arah atas Gunung Abea, seperti diungkapkan PLH Kabid Humas Polda Papua AKBP Nurhabri ketika dikonfirmasi Papua Pos via telepon seluler, tadi malam (Minggu, 24/5).

Meski Nurhabri tidak merinci pelaku penembakan terhadap rumah dinas bupati Puja tersebut, namun diduga pelakunya adalah kelompok dari TPN/OPM. Ia menjelaskan, dua tembakan diarahkan ke pos jaga, sementara satu tembakan lagi mengarah ke bagian belakang kamar mandi tembus bagian depan rumah.

“Sedang dalam penyelidikan,”kata Nurhabri.

Nurhabri menambahkan, meski pelakunya belum diketahui aparat keamanan di kabupaten Puja akan menindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan sampai kasus penembakan tersebut terungkap.”Yang jelas kami akan melakukan pencarian sampai pelakunya ke tangkap,”jelasnya.(cr-50)

sumber :papuapos

Komentar
Tambah Ba

Senin, 04 Mei 2009

PINTU RI-PNG DI TUTUP

JAYAPURA (DESKPAPUABARAT) -Perbatasan Republik Indonesia (RI) dengan negara tetangga Papua New Guinea (PNG) yang terletak di Kampung Skouw, Distrik Muara Tami, Jayapura ditutup sejak 9 April lalu.

ditutupnya perbatasan ini menyebabkan warga negara Indonesia tidak dapat menyeberang ke wilayah PNG untuk berbagai keperluan. Padahal, dalam sehari masyarakat yang ingin berkunjung ke PNG, baik untuk keperluan rekreasi maupun pekerjaan lainnya cukup banyak.

Sebaliknya dengan warga negara PNG, tampak bebas melintasi perbatasan RI-PNG tanpa kendala apa pun.

Ditutupnya daerah perbatasan ini menyusul peristiwa penemuan bom di jembatan Muara Tami, Distrik Muara Tami, Jayapura pada Kamis (9/4) lalu.

Seorang warga Kota Jayapura, Ferry Sesa menyatakan, kekecewaannya karena tidak dapat melintasi perbatasan dan tertahan di pos penjagaan TNI yang terletak tidak jauh dari Kantor Imigrasi.

"Tapi untuk keamanan, saya ikuti saja peraturan yang berlaku karena saya juga tidak ingin ambil resiko," katanya seperti diliris dari Antara, Minggu (3/5) kemarin.

Pada kondisi normal, warga Indonesia dapat melintasi perbatasan RI-PNG untuk keperluan kunjungan dalam waktu tidak lebih dari 24 jam, hanya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di pos penjagaan TNI, selanjutnya melapor ke Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) Darat Skouw.

Belum dapat diketahui batas waktu dan alasan penutupan perbatasan RI-PNG ini. Walaupun demikian, kondisi di sekitar perbatasan cukup kondusif. Aktivitas masyarakat pun bisa berjalan seperti biasanya.

Pos perbatasan yang terletak di Kampung Skouw, sekitar 70 kilometer ke arah timur dari pusat Kota Jayapura dijaga satuan tugas dari Batalyon Infantri (Yonif) 725/Wirabuana.(ant)




Sabtu, 02 Mei 2009

Tuntut Papua Damai, Organisasi Papua Tolak HUT Integrasi Papua Bagikan

FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT (F-PEPERA PB)
MENOTAK INTEGRASI PAPUA DALAM NKRI

Pada tanggal 01 Mei sebagai Hari Integrasi Papua Barat dalam NKRI ini, kami Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (F-PEPERA PB) menyadari dan mengungkapkan sikap kami Rakyat Alam Semesta Papua Barat. Pertama-tama kami menyadari bahwa suasana hidup damai adalah kerinduan kodrati manusia. Tidak ada seorang yang menginginkan ketidak damaian dalam hidupnya. Sebaliknya, setiap orang dimana pun ia berada tentu menginginkan suasana hidup damai. Demikian pula kita semua yang di Papua tanpa membedakan suku, bahasa, ras menginginkan suasana damai.

Damai di Tanah Papua akan tercipta bila setiap orang yang tinggal di Papua saling menghargai, menghormati, berlaku jujur dan adil antar sesama. Suasana hidup ini akan tercipta bila setiap orang menghargai Hak-Hak yang dimiliki baik secara individu (pribadi) maupun kelompok (komunitas). Salah satu hal yang sangat penting dalam upaya menciptakan kedamaian ialah saling memberi kebebasan untuk merealisasikan dirinya sebagai manusia. Ia diberi kebebasan untuk memilih sesuai dengan keinginannya karena ia secara pribadi dan kelompok memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri demi mencapai hidup damai. Demikian pula, perjuangan manusia di Papua dalam mempertahankan hidupnya baik kelompok, Bangsa sampai Penentuan Nasib Sendiri merupakan Hak Dasar yang lahir telah menjadi agenda perjuangan secara universal. Namun hak dasar yang adalah kerinduan kodrati tersebut tidak menjadi kenyataan.

Pada tanggal 01 Mei 1963, Tanah Papua dan rakyatnya diintegrasikan ke dalam NKRI oleh Belanda, PBB dan Indonesia dibawah bayang-bayang Amerika Serikat tanpa sepengetahuan Rakyat Papua. Mereka menyepakati Papua Barat bergabung dengan Pemerintah Indonesia sehingga akhirnya mereka menyerahkan Rakyat Papua kepada Pemerintah Indonesia tanpa meminta persetujuan Rakyat Papua. Rakyat Papua yang seharusnya ialah penentu hidupnya (subyek) diobyekkan dan hak hidupnya ditentukan oleh mereka. Oleh karena itulah, kami Rakyat Papua Barat menyadari dan mengatakan bahwa Integrasi Papua kedalam NKRI adalah suatu Pelanggaran Hak Asasi Rakyat Papua, karena Rakyat Papua bukan “mengintegrasikan” tetapi “diintegrasikan” kedalam RI. Rakyat Papua bukan sebagai pelaku yang menghadiri, menyepakati dan menyetujui untuk bergabung dengan RI. Ini adalah salah satu pelanggaran HAM yang terjadi dalam tahun 1960-an.

Goresan sejarah pahit yang hingga sekarang masih terus dikenang oleh kita semua, peristiwa sejarah pencaplokan wilayah Papua melalui rangkaian invasi kekuatan penjajah. Sangat disesalkan, Aneksasi secara politik tersebut dilakukan selang dua tahun dimana telah dicetuskan Negara Papua Barat (1 Desember 1961). Politik praktis Indonesia telah memulai mempraktekan pembunuhan hak terhadap Bangsa Papua Barat. Invasi militer dimobilisasi dari Alun-alun Yogyakarta oleh Presiden Sukarno dengan memberi komando penyerbuan dan pembubaran Negara Papua yang baru terbentuk.
Parade militer yang dikenal dengan cetusan “Trikora - tiga komando rakyat” sampai hari ini bagi bangsa Indonesia merupakan hari bersejarah bagi integrasinya Bangsa Papua Barat kedalam wilayah Indonesia - tidak lain adalah jalan awal bagi TERKUBURNYA Hak Asasi suatu bangsa, sebab pendudukan atas wilayah Papua didukung dengan parade atribut militer yang berujung pada intimidasi dan pemaksaan HAK.

Dapat terbantahkan, bahwa klaim 1 Mei sebagai integrasi Papua kedalam NKRI tidak dibenarkan, sebab proses politik di Papua tidak cukup sampai disitu. Hasil dari bantahan ini adalah berbagai peristiwa perundingan dilakukan untuk menetapkan status Papua Barat. Puncak politik yang tertinggi dalam akhir proses demokrasi era dekolonisasi ialah tercetusnya PEPERA-Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 yang secara politik maupun ekonomi sudah membuktikan terjadinya intrik politik baik dilakukan oleh Indonesia, Belanda dan Amerika bahkan PBB.

Akibat sarat politik-ekonomi Negara luar terhadap Papua Barat-HAK demokrasi dalam bentuk referendum bagi rakyat Papua yang semestinya sesuai dengan platform internasional dilumpuhkan. Tingkatan ekonomi yang paling dahsyat dalam pembunuhan sejarah politik rakyat Papua Barat sebelum penentuan HAK dimana invansi perusahaan raksasa hari ini PT. Freeport ke Tanah Papua pertengahan tahun 1967. masuknya Freeport ditengah suasana demokrasi dan penetapan status Bangsa dan Negara Papua Barat masih dalam tahap perbincangan di tingkatan internasional. Konsekwensi logis dari masuknya Papua secara aklamasi kepentingan ekonomi yaitu penandatangan kontrak karya yang dilakukan oleh kubu cendana (Suharto) dengan manajemen Freeport yang juga punya kekuatan dan dorongan secara ekonomis atas penentuan sikap Amerika terhadap masalah demokrasi di Papua Barat. Harga diri dalam memilih sikap sejati yang seharusnya diserahkan kepada mekanisme universal-CACAT! Atas kesepakatan sepihak inilah menimbulkan gejolak politik Papua sampai hari ini.

Bayang-banyang imperialisme Amerika dan antek-anteknya telah mencengkeram bumi Papua Barat dengan menindas habis HAK Asasi Rakyat Sipil Papua. Indonesia di bawah rezim berganti rezim sampai sekarang tetap tidak dapat bebas dari cengraman kepentingan internasional. Jakarta hanyalah AGEN bagi sejumlah pemodal yang mengintai Tanah Papua Barat sedangkan disatu sisi sejumlah persoalan Hak penduduk sipil di Indonesia maupun Bangsa Papua Barat tidak dapat ditegakkan.

Laju penindasan dan pengingkaran akan Hak Asli rakyat Papua Barat sejak Berdaulat dan Merdeka hingga aneksasi kedalam Indonesia-terus dilawan dan dan sekarang diperjuangkan oleh Bangsa Papua Barat adalah sepenuhnya penghormatan terhadap HAK-HAK SIPIL. Namun, untuk menutupi kebohongan politik Negara-negara atas penanganan status Papua Barat dilakukan dengan meng-iyakan sejumlah praktik politik Indonesia yang nyatanya terbukti cacat berada di Papua Barat hari ini.
Konsekwensi dari desakan semu untuk penyelesaian masalah Papua Barat dengan mekanisme atau pendekatan represif pun tak luput digelar. Operasi militer di era Suharto sampai pendekatan Represif di era Susilo Bambang Yudhoyono semakin meningkatkan penguburan hak-hak rakyat sipil. Hanya karena eskalasi militer yang menampakan watak kekerasan kemudian menimbulkan kecemasan bagi semua pihak. Parade kekuatan militer cenderung menimbulkan korban rakyat sipil-juga mengancam ketentraman keamanan investasi dalam negeri terutama di Papua Barat dimana sejumlah asset asing berada.Cover baru yang berwatak kesejahteraan dan sejatinya adalah penjajahan bentuk baru kemudian diterapkan di Papua Barat dibawah mandor-Kapitalisme Internasional yang berkedudukan di Jakarta dengan cermat menerapkan Agenda Neoliberal bernama Otonomi Daerah (tahun 1999-2000) secara Khusus di Papua Barat dan Aceh di berikan Otonomi Khusus. Undang-undang N0.21/2001 diterbitkan untuk pelaksanaan Otsus di Papua Barat. Kado politis murahan tersebut tak mampu diterapkan sampai sekarang.

Jika hari ini penjajahan di Papua dianggap malaikat penyelamat dengan pemberian KADO OTSUS, namun sejauhmana realisasinya dapat kita simak bersama. Apakah dana Otsus yang jumlahnya triliyunan rupiah telah membantu masyarakat asli Papua dalam meningkatkan taraf hidupnya? Mengapa masyarakat asli Papua masih tetap miskin? Mengapa mama Papua di seluruh kota di Papua masih tetap berjualan di lantai tanah? Mengapa sejumlah karyawan PT. Freeport turun menuntut HAK mereka?-Mengapa penduduk Asli di Kabupaten Mimika minoritas 30 persen, dan 50 persen miskin? Mengapa masyarakat asli Papua semakin dipinggirkan atau dimarginalisasikan dalam suasana hidup di kota?. Lantas, masyarakat non Papua menjadi mayoritas di tanah Papua? Hal ini terjadi dihampir seluruh kota di Papua, sementara Otsus yang katanya penyelamat baru bagi orang Papua bahkan Freeport di Timika dianggap akan menopang tingkat kemakmuran ekonomi orang Papua lebih baik…?

Dengan menyimak realitas tersebut diatas, maka pada tanggal 01 Mei sebagai Hari Diintegrasikan dalam NKRI ini kami FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT (F-PEPERA-PB) menyadari bahwa PERDAMAIAN DI TANAH PAPUA akan ada bila:

1. Ada Keadilan Sosial yang disertai dengan sikap dialog, jujur dan adil.
2. Ada Kebebasan: individu dan kelompok dalam menyatakan sikap dan mengungkapkan pendapatnya. Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum tanpa dibatasi oleh siapapun dengan alasan apapun dan dengan kekuatan apapun.
3. Bebas dari tindakan kekerasan dalam bentuk apapun terutama oleh TNI/POLRI dan BRIMOB. Bebas dari monopoli kekuasaan oleh sekelompok masyarakat (Non Papua), kaum pemodal dan Pemerintah.
Oleh karena itu, pada peringatan Hari Perdamaian Se-dunia ini Front PEPERA PB menyatakan sikap dan komitmen kami bahwa dengan tegas:

1. Kami Rakyat Papua Barat menolak Sejarah Integrasi Papua Barat kedalam NKRI pada tanggal 01 Mei 1063.
2. Kami juga menolak Neo- Kolonialisme, Kapitalisme dan Imperalisme diatas Tanah Papua.
3. Menyeruhkan kepada Pemerintah Belanda, Pemerintah Amerika Serikat, Pemerintah Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk segera bertanggungjawab atas kesepakatan sepihak untuk memaksakan kami Rakyat Papua Barat bergabung dengan Pemerintah Republik Indonesia dengan solusi mengadakan “DIALOG INTERNASIONAL”.

Demikian sikap Rakyat Papua Barat yang dapat kami ungkapkan pada peringatan Hari Integrasi Papua Barat ke dalam NKRI.

Numbay, 01 Mei 200
Front PEPERA Papua Barat
Biro Demokrasi, Hukum dan HAM.

Eknas Desk Papua Barat