Sabtu, 02 Mei 2009

Tuntut Papua Damai, Organisasi Papua Tolak HUT Integrasi Papua Bagikan

FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT (F-PEPERA PB)
MENOTAK INTEGRASI PAPUA DALAM NKRI

Pada tanggal 01 Mei sebagai Hari Integrasi Papua Barat dalam NKRI ini, kami Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (F-PEPERA PB) menyadari dan mengungkapkan sikap kami Rakyat Alam Semesta Papua Barat. Pertama-tama kami menyadari bahwa suasana hidup damai adalah kerinduan kodrati manusia. Tidak ada seorang yang menginginkan ketidak damaian dalam hidupnya. Sebaliknya, setiap orang dimana pun ia berada tentu menginginkan suasana hidup damai. Demikian pula kita semua yang di Papua tanpa membedakan suku, bahasa, ras menginginkan suasana damai.

Damai di Tanah Papua akan tercipta bila setiap orang yang tinggal di Papua saling menghargai, menghormati, berlaku jujur dan adil antar sesama. Suasana hidup ini akan tercipta bila setiap orang menghargai Hak-Hak yang dimiliki baik secara individu (pribadi) maupun kelompok (komunitas). Salah satu hal yang sangat penting dalam upaya menciptakan kedamaian ialah saling memberi kebebasan untuk merealisasikan dirinya sebagai manusia. Ia diberi kebebasan untuk memilih sesuai dengan keinginannya karena ia secara pribadi dan kelompok memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri demi mencapai hidup damai. Demikian pula, perjuangan manusia di Papua dalam mempertahankan hidupnya baik kelompok, Bangsa sampai Penentuan Nasib Sendiri merupakan Hak Dasar yang lahir telah menjadi agenda perjuangan secara universal. Namun hak dasar yang adalah kerinduan kodrati tersebut tidak menjadi kenyataan.

Pada tanggal 01 Mei 1963, Tanah Papua dan rakyatnya diintegrasikan ke dalam NKRI oleh Belanda, PBB dan Indonesia dibawah bayang-bayang Amerika Serikat tanpa sepengetahuan Rakyat Papua. Mereka menyepakati Papua Barat bergabung dengan Pemerintah Indonesia sehingga akhirnya mereka menyerahkan Rakyat Papua kepada Pemerintah Indonesia tanpa meminta persetujuan Rakyat Papua. Rakyat Papua yang seharusnya ialah penentu hidupnya (subyek) diobyekkan dan hak hidupnya ditentukan oleh mereka. Oleh karena itulah, kami Rakyat Papua Barat menyadari dan mengatakan bahwa Integrasi Papua kedalam NKRI adalah suatu Pelanggaran Hak Asasi Rakyat Papua, karena Rakyat Papua bukan “mengintegrasikan” tetapi “diintegrasikan” kedalam RI. Rakyat Papua bukan sebagai pelaku yang menghadiri, menyepakati dan menyetujui untuk bergabung dengan RI. Ini adalah salah satu pelanggaran HAM yang terjadi dalam tahun 1960-an.

Goresan sejarah pahit yang hingga sekarang masih terus dikenang oleh kita semua, peristiwa sejarah pencaplokan wilayah Papua melalui rangkaian invasi kekuatan penjajah. Sangat disesalkan, Aneksasi secara politik tersebut dilakukan selang dua tahun dimana telah dicetuskan Negara Papua Barat (1 Desember 1961). Politik praktis Indonesia telah memulai mempraktekan pembunuhan hak terhadap Bangsa Papua Barat. Invasi militer dimobilisasi dari Alun-alun Yogyakarta oleh Presiden Sukarno dengan memberi komando penyerbuan dan pembubaran Negara Papua yang baru terbentuk.
Parade militer yang dikenal dengan cetusan “Trikora - tiga komando rakyat” sampai hari ini bagi bangsa Indonesia merupakan hari bersejarah bagi integrasinya Bangsa Papua Barat kedalam wilayah Indonesia - tidak lain adalah jalan awal bagi TERKUBURNYA Hak Asasi suatu bangsa, sebab pendudukan atas wilayah Papua didukung dengan parade atribut militer yang berujung pada intimidasi dan pemaksaan HAK.

Dapat terbantahkan, bahwa klaim 1 Mei sebagai integrasi Papua kedalam NKRI tidak dibenarkan, sebab proses politik di Papua tidak cukup sampai disitu. Hasil dari bantahan ini adalah berbagai peristiwa perundingan dilakukan untuk menetapkan status Papua Barat. Puncak politik yang tertinggi dalam akhir proses demokrasi era dekolonisasi ialah tercetusnya PEPERA-Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 yang secara politik maupun ekonomi sudah membuktikan terjadinya intrik politik baik dilakukan oleh Indonesia, Belanda dan Amerika bahkan PBB.

Akibat sarat politik-ekonomi Negara luar terhadap Papua Barat-HAK demokrasi dalam bentuk referendum bagi rakyat Papua yang semestinya sesuai dengan platform internasional dilumpuhkan. Tingkatan ekonomi yang paling dahsyat dalam pembunuhan sejarah politik rakyat Papua Barat sebelum penentuan HAK dimana invansi perusahaan raksasa hari ini PT. Freeport ke Tanah Papua pertengahan tahun 1967. masuknya Freeport ditengah suasana demokrasi dan penetapan status Bangsa dan Negara Papua Barat masih dalam tahap perbincangan di tingkatan internasional. Konsekwensi logis dari masuknya Papua secara aklamasi kepentingan ekonomi yaitu penandatangan kontrak karya yang dilakukan oleh kubu cendana (Suharto) dengan manajemen Freeport yang juga punya kekuatan dan dorongan secara ekonomis atas penentuan sikap Amerika terhadap masalah demokrasi di Papua Barat. Harga diri dalam memilih sikap sejati yang seharusnya diserahkan kepada mekanisme universal-CACAT! Atas kesepakatan sepihak inilah menimbulkan gejolak politik Papua sampai hari ini.

Bayang-banyang imperialisme Amerika dan antek-anteknya telah mencengkeram bumi Papua Barat dengan menindas habis HAK Asasi Rakyat Sipil Papua. Indonesia di bawah rezim berganti rezim sampai sekarang tetap tidak dapat bebas dari cengraman kepentingan internasional. Jakarta hanyalah AGEN bagi sejumlah pemodal yang mengintai Tanah Papua Barat sedangkan disatu sisi sejumlah persoalan Hak penduduk sipil di Indonesia maupun Bangsa Papua Barat tidak dapat ditegakkan.

Laju penindasan dan pengingkaran akan Hak Asli rakyat Papua Barat sejak Berdaulat dan Merdeka hingga aneksasi kedalam Indonesia-terus dilawan dan dan sekarang diperjuangkan oleh Bangsa Papua Barat adalah sepenuhnya penghormatan terhadap HAK-HAK SIPIL. Namun, untuk menutupi kebohongan politik Negara-negara atas penanganan status Papua Barat dilakukan dengan meng-iyakan sejumlah praktik politik Indonesia yang nyatanya terbukti cacat berada di Papua Barat hari ini.
Konsekwensi dari desakan semu untuk penyelesaian masalah Papua Barat dengan mekanisme atau pendekatan represif pun tak luput digelar. Operasi militer di era Suharto sampai pendekatan Represif di era Susilo Bambang Yudhoyono semakin meningkatkan penguburan hak-hak rakyat sipil. Hanya karena eskalasi militer yang menampakan watak kekerasan kemudian menimbulkan kecemasan bagi semua pihak. Parade kekuatan militer cenderung menimbulkan korban rakyat sipil-juga mengancam ketentraman keamanan investasi dalam negeri terutama di Papua Barat dimana sejumlah asset asing berada.Cover baru yang berwatak kesejahteraan dan sejatinya adalah penjajahan bentuk baru kemudian diterapkan di Papua Barat dibawah mandor-Kapitalisme Internasional yang berkedudukan di Jakarta dengan cermat menerapkan Agenda Neoliberal bernama Otonomi Daerah (tahun 1999-2000) secara Khusus di Papua Barat dan Aceh di berikan Otonomi Khusus. Undang-undang N0.21/2001 diterbitkan untuk pelaksanaan Otsus di Papua Barat. Kado politis murahan tersebut tak mampu diterapkan sampai sekarang.

Jika hari ini penjajahan di Papua dianggap malaikat penyelamat dengan pemberian KADO OTSUS, namun sejauhmana realisasinya dapat kita simak bersama. Apakah dana Otsus yang jumlahnya triliyunan rupiah telah membantu masyarakat asli Papua dalam meningkatkan taraf hidupnya? Mengapa masyarakat asli Papua masih tetap miskin? Mengapa mama Papua di seluruh kota di Papua masih tetap berjualan di lantai tanah? Mengapa sejumlah karyawan PT. Freeport turun menuntut HAK mereka?-Mengapa penduduk Asli di Kabupaten Mimika minoritas 30 persen, dan 50 persen miskin? Mengapa masyarakat asli Papua semakin dipinggirkan atau dimarginalisasikan dalam suasana hidup di kota?. Lantas, masyarakat non Papua menjadi mayoritas di tanah Papua? Hal ini terjadi dihampir seluruh kota di Papua, sementara Otsus yang katanya penyelamat baru bagi orang Papua bahkan Freeport di Timika dianggap akan menopang tingkat kemakmuran ekonomi orang Papua lebih baik…?

Dengan menyimak realitas tersebut diatas, maka pada tanggal 01 Mei sebagai Hari Diintegrasikan dalam NKRI ini kami FRONT PERSATUAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT (F-PEPERA-PB) menyadari bahwa PERDAMAIAN DI TANAH PAPUA akan ada bila:

1. Ada Keadilan Sosial yang disertai dengan sikap dialog, jujur dan adil.
2. Ada Kebebasan: individu dan kelompok dalam menyatakan sikap dan mengungkapkan pendapatnya. Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum tanpa dibatasi oleh siapapun dengan alasan apapun dan dengan kekuatan apapun.
3. Bebas dari tindakan kekerasan dalam bentuk apapun terutama oleh TNI/POLRI dan BRIMOB. Bebas dari monopoli kekuasaan oleh sekelompok masyarakat (Non Papua), kaum pemodal dan Pemerintah.
Oleh karena itu, pada peringatan Hari Perdamaian Se-dunia ini Front PEPERA PB menyatakan sikap dan komitmen kami bahwa dengan tegas:

1. Kami Rakyat Papua Barat menolak Sejarah Integrasi Papua Barat kedalam NKRI pada tanggal 01 Mei 1063.
2. Kami juga menolak Neo- Kolonialisme, Kapitalisme dan Imperalisme diatas Tanah Papua.
3. Menyeruhkan kepada Pemerintah Belanda, Pemerintah Amerika Serikat, Pemerintah Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk segera bertanggungjawab atas kesepakatan sepihak untuk memaksakan kami Rakyat Papua Barat bergabung dengan Pemerintah Republik Indonesia dengan solusi mengadakan “DIALOG INTERNASIONAL”.

Demikian sikap Rakyat Papua Barat yang dapat kami ungkapkan pada peringatan Hari Integrasi Papua Barat ke dalam NKRI.

Numbay, 01 Mei 200
Front PEPERA Papua Barat
Biro Demokrasi, Hukum dan HAM.

Eknas Desk Papua Barat



0 komentar: